Siang itu langit cerah menjadi kabar gembira untuk para pejalan kaki yang berlalu-lalang di kepadatan ibu kota ini, saling melewati dan mendahului. Dapat kurasa bahwa langit cerah menjadi kabar baik untukku di beberapa waktu kedepan, senyumku tak kunjung meredup walau cahaya mentari telah menyengat masuk ke dalam pori-pori kurang lebih 15 menit ini. Aku kembali mencoba menerka-nerka apa yang membuatku sesemangat seperti sekarang, padahal ini hanya pertemuan biasa antara aku dan kekasihku.


Dari kejauhan aku dapat melihat tubuhnya yang mendekat sehingga kulambaikan tangan sebagai tanda keberadaanku di tengah hiruk pikuk kerumunan manusia. Ekor matanya dengan cepat menerima kode dariku dan memberikan stimulasi pada otot-otot tubuhku untuk semakin menegang. Bukan, bukan karena aku merasa takut atau melakukan gerakan olahraga jasmani seperti yang sering dilakukan pada saat jam olahraga. Aku hanya kelewat bersemangat sehingga otot dan sendi seakan bergerak lebih hyper dari yang ku kira.


"Sudah lama menunggu?" basa-basi yang selalu mudah membuat diriku kembali gugup sangking semangatnya.


"Ah! Tidak-tidak!" Dari gerakan tanganku yang bergerak seakan mengatakan 'tidak masalah' menjadi jawaban implisit.


Tangannya terulur menghapus peluh pada pelipisku "Kau menunggu berapa lama" gerakan implusif di tambah kalimat retoris mampu membuat saraf motorik menjadi kaku tak berdaya. 


"Kita sebaiknya segera pergi sebelum matahari melahap rakus tubuh pendekmu" sudah jelas itu ejekan untukku.


Perjalanan 100 meter seakan hanya 10 langkah, hatiku semakin berbunga-bunga ditambah lagi melihat tangan kami yang saling bertautan. Ini menyenangkan! Setelah berhasil mendapatkan bangku taman yang kosong di bawah pohon rindang alhasil membuatku sekarang duduk manis disini. Tatapan jenuh membuatku tersadar dari kegiatan menundukkan kepala menahan rasa senang dan gugup digantikan mendongak menatap sang lawan bicara.


"Aku berbicara serius kali ini, Tiya dengarkan aku baik-baik dan jangan banyak bertanya karena aku hanya menjelaskan dalam satu kalimat singkat!" Suara penuh otoritas membuatku mengangguk patuh.


Aku terdiam menunggu kelanjutan dari kalimat yang sengaja ia jeda.


"Kita akhiri dan kamu bisa pergi menuju cita-cita yang kamu impikan" kalimat itu, bagaikan air tenang membawa pusaran air kematian.


"...." Aku diam membisu membiarkan angin membawa rasa resah dari tiupan halusnya.


"Kau tau!?! Bahkan kedua orang tua kita tidak pernah memberikan kode hijau dalam hubungan panjang ini, aku mulai merasa jangah" itu adalah alasan klise darinya. Aku tau.


"Baiklah" wajahku memberikan senyum terbaik yang ku bisa "Gery sekarang bebas memilih semua sendiri" membalas pernyataan yang ia ucapkan beberapa waktu lalu.


"Aku tau Tiya bisa kuat tanpa..." Kalimat motivasi yang ingin Gery ucapkan segeraku putus dengan tawa renyah yang sepontan aku keluarkan.


"Aku tak apa, jangan mengasihaniku seperti itu" kibasan tanganku seakan mengatakan 'tidak apa'.


"Tuhan telah mengatakan kita tak berjodoh" Gery mulai berdiri.  Sersiap pergi.


Ya Tuhan telah mengatakan bahwa kau yang memutuskan jodoh kita.


"Yah mau bagaimana lagi, aku tau hubungan kita tidak sampai ke lampu hijau tapi setidaknya bukan lampu merah jugakan?" Kunaikan alisku naik turun disusul membeludaknya tawa keras seperti orang bodoh.


Tangannya secara reflek menepuk ujung kepalaku pelan.

"Tentu" senyuman Gery membuatku terbang ke awang-awang dan kembali jatuh ke tanah berbatu.


Aku hanya mampu mengepalkan kedua tangan dan pasrah. Tentu aku kesal dengan situasi ini! Sangat amat kesal!


"Kalau begitu aku pergi dulu, sampai jumpa lain waktu" dia berbicara sumbang seakan tidak yakin dan yakin. Merepotkan.


"Tentu, sampai jumpa lagi" dan itu hari terakhir Tiya bisa tersenyum.



By: D.D